Panja RUU Migas Komisi VII Jaring Masukan dari Pakar dan Pemprov Riau
Pemerintah Provinsi Riau dan Akademisi sekaligus pakar hukum dan pakar perminyakan dari Universitas Islam Riau berharap beberapa perubahan dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Hal itu disampaikan kepada Panitia Kerja Rancangan Undang-undang Minyak dan Gas Bumi (Panja RUU Migas), saat Panja melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Riau, Kamis (3/12).
“Saya berharap adanya perubahan paradigma terhadap sanksi yang dijatuhkan kepada para pelaku pelanggaran Undang-undang Migas ke depan. Jika sebelumnya ada kata-kata “selama-lamanya” diberikan hukuman sebagai berikut, maka ke depan kata “selama-lamanya” itu harus diiubah menjadi sekurang-kurangnya. Begitupun yang terkait dengan denda dari kata “sebanyak-banyaknya” diubah menjadi “sekurang-kurangnya”.Hal itu tak lain adalah untuk memberikan efek jera terhadap para pelaku,” papar Syafrinaldi, Pakar Hukum dari Univeristas Islam Riau di Kantor Gubernur Riau.
Menanggapi hal tersebut, anggota Panja RUU Migas Komisi VII, Dony Maryadi Oekon mengapresiasi dan menyetujui masukan tersebut. Karena jika masih ada kata selama-selamanya dapat diartikan paling lama, sehingga bisa saja pengadilan menjatuhkan hukuman terendah. Namun sebaliknya jika “sekurang-kurangnya” maka pelaku paling sedikit akan menerima hukuman sekurang-kurangnya seperti yang tercantum dalam undang-undang tersebut. Begitupun dengan kata “sebanyak-banyaknya” untuk denda yang dijatuhkan pada para pelaku pelanggaran Undang-undang Migas ke depan.
Sementara itu Plt Gubernur Riau yang diwakili oleh Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumber Daya Mineral Riau, Syahrial Abdi mempertanyakan belum adanya undang-undang yang mengatur kewenangan pemerintah daerah secara teknis dalam proses pengawasan pengelolaan sumber daya migas yang ada di daerahnya. Pasalnya, dalam undang-undang No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tidak secara tegas mengatur tentang hal tersebut.
“Dalam Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah belum mengatur secara teknis tentang mekanisme pengawasan yang dimiliki pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten terhadap pengelolaan sumber daya migas yang ada di daerahnya. Dengan begitu belum ada turunan Peraturan Pemerintah (PP) dari Undang-undang No. 23 tahun 2014 yang dapat dijadikan rujukan secara teknis bagi pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan. Akibatnya dilanjutkan Syahrial, terjadi stagnasi pada kegiatan hulu Migas,” ungkap Syahrial.
Menjawab hal itu anggota Komisi VII Jamaluddin Jafar yang memimpin rombongan, beserta anggota Panja RUU Migas Komisi VIII yang hadir dalam pertemuan tersebut seperti Dony Maryadi Oekon, Adian Yunus Yusak Napitupulu, M.Martri Agoeng, Endre Saifoel, dan Arvin Hakim Thoha sepakat untuk menampung hal tersebut sebagai sebuah aspirasi atau masukan dalam pembahasan perubahan UU Migas No.22 Tahun 2001 mendatang. (Ayu), foto : ayu/parle/hr.